Bagaimana perasaan kamu ketika melihat gambar di atas? Tentu kasihan, trenyuh, dan hanya bisa mengurut dada. Apakah ini benar musibah atau kecerobohan dari PT. Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang berhubungan langsung dengan lumpur yang meluap di Sidoarjo tersebut masih banyak diperdebatkan.
Mari kita simak sepenggal berita dari Jawapos Network berikut ini:
SIDOARJO - Lantunan takbir, tahmid, dan tahlil menggema dari halaman Masjid Nurul Azhar, Siring Barat, Porong, selepas subuh kemarin (10/9). Begitu matahari menyembul di ufuk timur, jamaah pun berbondong-bondong untuk salat Id. Karena tanah lapang tidak cukup, sebagian jamaah membentuk saf di badan jalan raya.
Mereka adalah warga korban lumpur Lapindo yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu melaksanakan salat Id di atas tanggul lumpur. "Tahun-tahun sebelumnya kami salat Id di atas tanggul. Tapi, semua tanah lapang sekarang sudah terendam lumpur," kata Zuhri, warga Jatirejo RT II.
Selain warga Jatirejo, ada warga Siring, Mindi, dan Beringin. Siring dan Jatirejo adalah yang terparah. Sebab, 90 persen lebih tempat tinggal warga dua desa tersebut sudah tenggelam oleh lumpur. Dia mengharap keajaiban akan datang setelah Lebaran ini. "Saya dengar Lapindo mau mencairkan lagi uang ganti rugi," tambah Zuhri. Bersama warga lain, dia berharap agar hal itu terwujud supaya warga tidak berunjuk rasa atau menutup jalan, apalagi rel kereta api.
Harapan senada terungkap dari bibir Sudarti, 63. Mantan warga Siring yang kini mengontrak di Desa Beringin, Kecamatan Porong, itu meminta ganti rugi rumahnya yang sudah tenggelam sejak dua tahun lalu segera dilunasi. Dia sangat sulit membiayai hidup. "Untung masih ada anak-anak yang kasih makan," kata nenek tiga cucu itu.
Kusno, warga Jatirejo, bahkan mengungkapkan bahwa Lebaran kali ini merupakan yang paling sulit. Sebab, dia tidak memegang cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari. "Saya bingung. Biaya hidup sehari-hari saja kewalahan. Lebaran ini saya sama sekali tidak bisa beli baju baru untuk anak," ucapnya dengan suara parau. Kusno kini masih mengontrak di kawasan Krembung.
Salat Id warga korban lumpur menampilkan Mohammad Mirdasy sebagai khatib. Dalam khotbahnya, tokoh muda Muhammadiyah Jatim itu menyatakan keprihatinan yang mendalam atas nasib masyarakat sekitar yang jadi korban lumpur. Dia meyakini, semburan lumpur yang telah mengusir belasan ribu jiwa dari rumah mereka tersebut merupakan sebuah ujian dari Allah.
"Kita sebelumnya tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti ini (luapan lumpur, Red) akan terjadi di sekitar kita," kata pengasuh Panti Asuhan Nurul Azhar itu. Dia mengajak jamaah senantiasa bersabar dan tabah menghadapi cobaan tersebut. Sebab, nikmat Allah akan tetap bersama orang-orang yang bersabar. "Kita juga tidak tahu hingga kapan kita terus bertahan di tempat ini," tutur pria yang juga warga Porong itu.
Mendengar khotbah tersebut, tidak sedikit jamaah, terutama perempuan, yang menitikkan air mata. Suasana sedih juga terasa ketika ratusan warga berziarah di tanggul-tanggul lumpur. Mereka duduk bersila sambil berdoa. Mereka juga korban lumpur yang hanya bisa "nyekar" di atas tanggul karena makam leluhur mereka sudah tenggelam oleh lumpur. (mar/c9/nw)
Bayangkan saja, di hari Lebaran yang mestinya diisi dengan sukacita dan kebahagiaan masih ada sebagian teman kita yang masih menderita. Karena lumpur masih merendam rumah mereka dan belum mendapat kejelasan nasib.
Bahkan untuk sekedar berziarah ke makam orangtua mereka pun sudah tidak mungkin dilakukan. Apakah seiring berjalannya waktu wajar jika kita melupakan penderitaan mereka? Tidak! Bahkan seorang Goenawan Mohamad dan Daoed Jusuf mengembalikan award atau penghargaan berupa Bakrie Award karena kecewa dengan perkembangan kasus Lumpur Lapindo.
Pemerintah memang sudah berupaya untuk mengatasi masalah ini, namun kita tetap tidak boleh lupa bahwa masih banyak penderitaan di sana. Dan waktu tidaklah mungkin untuk menghapus semua penderitaan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar